Kamis, 09 September 2010

Sholat Ied di Hari Jum'at


Dalam Kitab Mughni Al-Muhtaaj disebutkan bahwa Shalat Jum'at itu wajib berdasarkan firman Allah SWT dalam Surah Jum'ah ayat 9: "Hai orang-orang yang beriman, apabila telah dipanggil (adzan) shalat (pada hari) Jum'at, maka bersegeralah kepada dzikrullah (shalat) da tinggalkan jual beli..."

Maka, apabila shalat jum'at tetap wajib, meskipun bertemu dengan hari raya, karena itu adalah dua shalat yang berbeda dan tidak saling menggugurkan, seperti halnya shalat Id tidak menggugurkan shalat dzuhur. Hal ini sesuai dengan keumuman ayat (di atas) dan segenap dalil hadits yang menunjukkan bahwa Rasulullah SAW dan para shahabat tetap melaksanakan shalat Jum'at.

Memang ada fatwa dalam madzhab Hanbali, sebagaimana diungkapkan pula oleh Ibnu Taimiyah, bahwa apabila hari raya bertepatan dengan hari Jum'at, maka ada keringanan bagi mereka yang telah melaksanakan shalat Id untuk tidak melaksanakan shalat Jum'at.

Selanjutnya mari kita teliti dalil-dalil yang dipergunakan dalam masalah ini dan memahami mengapa jumhur Ulama lebih memilih untuk

Pertama, shalat Jum'at itu wajib berdasarkan perintah langsung dari Al-Qur'an (Surah Al-Jum'ah ayat 9). Kedua, tidak ada satu dalil pun yang menunjukkan bahwa Rasulullah SAW tidak menyelenggarakan shalat Jum'at setelah melaksanakan shalat Id. Ketiga, rukhshah (keringanan) yang diberikan oleh Rasulullah adalah kepada penduduk "Aaliyah", yaitu orang-orang yang tinggal di daerah pinggiran (sebelah timur Madinah) yang jauh dari masjid tempat diselenggarakannya Shalat Jum'at. Mereka tidak dapat melaksanakan shalat Jum'at di tempat mereka sendiri, karena jumlah mereka kurang dari 40 orang, maka setiap kali Jum'at mereka selalu ke masjid Nabi untuk bersama-sama shalat Jum'at. Bila mereka diharuskan datang dua kali dalam sehari, maka sangat berat bagi mereka, karena perjalanan yang jauh. Bila mereka harus menunggu hari siang untuk Jum'at, maka mereka tidak bekerja yang diperlukan untuk menghidupi keluarga. Maka, bagi mereka diberikan keringanan, apabila sudah ikut shalat Id, boleh tidak shalat Jum'at, karena: 1. Berat bagi mereka untuk pulang pergi lagi (karena jauhnya tempat), 2. Waktu tempuh perjalanan bisa jadi tidak terpenuhi untuk mengejar shalat jum'at, 3. mereka tak dapat melaksanakan shalat jum'at sendiri, karena jumlah penduduk kampung mereka sedikit.

Untuk saat ini, rukhshah (keringanan) tersebut sudah tidak relevan lagi, karena tempat shalat Jum'at ada di mana-mana dan dapat dijumpai dengan mudah.

Mari kita teliti dalil-dalil yang diajukan oleh yang membolehkan tidak shalat Jum’at:

1. (seperti telah ditulis pak Ichsan) Imam Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan Nasai dari Zaid bin Arqom menyaksikan bersama Rasulullah saw bersatunya dua hari raya. Maka beliau saw melaksanakan shalat id diawal siang kemudian memberikan rukhshah (keringanan) terhadap shalat jum’at dan bersabda,”Barangsiapa yang ingin menggabungkan maka gabungkanlah.”

Hadits ini aslinya berasal dari Iyas bin Abi Ramlah yang menceritakan bahwa ia melihat Muawiyah bertanya kepada Zaid bin Arqam mengenai hari raya yang bertepatan dengan hari Jum’at. Nah, Iyas bin Abi Ramlah ini adalah majhul (tidak dikenal oleh para perawi hadits), sehingga hadits ini dhaif.

Selain itu, ada perbedaan matan, antara penggunaan lafadz ”Man sya’a an yusholliya falyusholliya” dan ada yg mengatakan ”Man sya’a an yujammi’a falyujammi’”.


2. Abu Daud dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Hurairoh bahwa Nabi saw bersabda,”Sungguh telah bersatu dua hari raya pada hari kalian. Maka barangsiapa yang ingin menjadikannya pengganti (shalat) jum’at. Sesungguhnya kami menggabungkannya.”
Hadits ini adalah hadits mursal (lihat Nailul Authar)


3. Nasai dan Abu Daud meriwayatkan bahwa pernah terjadi dua hari raya bersatu pada masa Ibnu az Zubeir lalu dia mengakhirkan keluar (untuk shalat, pen) hingga terik meninggi lalu dia keluar dan berkhutbah kemudian melaksanakan shalat. Dia dan orang-orang tidak melaksanakan shalat pada hari jum’at.
Ini sebenarnya adalah atsar yang aslinya adalah riwayat dari Wahab ibnu Kaisan yang menceritakan keadaan pada masa Ibnu Zubair. Cerita Wahab ibnu Kaisan ini aneh, karena ia menyebut shalat yg didahului khutbah sebagai shalat Id. Sedangkan kita tahu bahwa shalat Id itu mendahului Khutbah dan yang didahului Khutbah itu adalah shalat Jum’at. Maka, keterangan dalam tanda kurung yang diberikan oleh pak Ichsan menjelaskan hal tersebut. Artinya, hadits ini tak dapat dijadikan dalil untuk meniadakan shalat Jum’at pada Hari Raya, sebaliknya justru shalat Id yang ditiadakan dan digabung dengan Shalat Jum’at (karena Jum’at yang wajib).



4. Di dalam riwayat Abu Daud bahwa pada masa Ibnu az Zubeir telah terjadi hari raya bertepatan dengan hari jum’at lalu dia menggabungkan keduanya dan melaksanakan shalat keduanya dengan dua rakaat lebih awal dan tidak tidak melebihkan dari keduanya hingga dia melaksanakan shalat ashar
Riwayat yang ini justru campur aduk dan bertentangan dengan riwayat pada no. 3. Selain itu, bisa juga maksudnya adalah shalat Jum’atnya dilaksanakan lebih awal dari biasanya. Yang perlu dipahami adalah bahwa shalat Jum’at di masa Rasulullah dan para shahabat itu selalu melewati waktu awal dzuhur (tidak tepat pas masuk waktu dzuhur Imam naik mimbar sebagaimana kita kenal sekarang ini). Beliau shalat qabliyah dahulu di rumah (artinya sudah masuk waktu dzuhur) baru menuju masjid untuk berkhutbah dan memimpin shalat.

Dalil yang dapat ditafsiri banyak begini tak dapat digunakan untuk menggugurkan kewajiban shalat Jum’at yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an.



5. Perkataan Utsman didalam khutbahnya,”Wahai manusia sesungguhnya hari kalian ini telah bersatu dua hari raya (jum’at dan id, pen). Maka barangsiapa dari penduduk al-‘Aliyah (Imam Nawawi mengatakan : ia adalah daerah dekat Madinah dari sebelah timur) yang ingin shalat jum’at bersama kami maka shalatlah dan barangsiapa yang ingin beranjak (tidak shalat jum’at) maka lakukanlah.”
Atsar dari Utsman ini sangat jelas menunjukkan bahwa rukhshah untuk tidak shalat Jum’at itu ditujukan hanya kepada penduduk ’Aliyah, bukan kepada setiap orang, dengan illat hukum jauh dan beratnya perjalanan, sebagaimana telah saya jelaskan di muka.

Atsar Utsman itu tidak lain mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Dari Umar bin Abdul Aziz yang berkata: ”Pernah terhimpun dua hari raya (Id dan Jum’at) pada masa Rasulullah SAW, maka beliau (Rasulullah) bersabda: ”Bagi penduduk Aliyah, apabila mereka mau menunggu (untuk shalat Jum’at), maka silakan menunggu.” (Lihat Al-Umm)



Dengan demikian menjadi jelas bagi kita, bahwa Shalat Jum’at itu tetap wajib meskipun telah melaksanakan Shalat Id. Hal ini karena rukhshah bagi penduduk Aliyah itu adalah karena jauh dan beratnya perjalanan mereka ke Madinah. Kondisi itu tidak kita jumpai di Indonesia, kecuali untuk daerah-daerah tertentu yang sangat spesifik.


Wa Allah A’lam

H. M. Dawud Arif Khan; SE, Ak., CPA


Sabtu, 14 Agustus 2010

Puasanya Wanita Hamil dan Menyusui


Islam adalah agama yang penuh toleransi, dan tidak memaksakan se¬suatu di luar kemampuan seseorang un¬tuk melakukannya, sebagaimana Allah SVVT berfirman:

"Dan tidaklah Allah SWT menjadikan suatu kesulitan atas kalian dalam hal agama." (OS Al-Hajj: 78).

Biasanya seorang wanita hamil atau yang sedang menyusui memang akan selalu merasa lapar, karena apa yang dimakan akan menjadi asupan makanan juga bagi bayinya. Kondisi itu membuat tubuh menjadi lemah dan tidak kuat kala menjalankan ibadah puasa. Maka di antara kelonggaran agama adalah diperbolehkannya seorang wanita hamil dan menyusui tidak berpuasa di bulan Ramadhan, dengan catatan bahwa ia harus mengqadhanya di luar bulan Ramadhan.

Namun demikian, bukan berarti se¬tiap wanita hamil atau menyusui menjadi wajib hukumnya untuk berbuka puasa di bulan Ramadhan. Jika mereka tetap mampu untuk melaksanakan puasa walaupun dalam keadaan hamil atau menyusui, itu lebih baik, agar ia juga terlepas dari kewajiban mengqadha di bulan lainnya. Selain itu, melaksanakan puasa tentunya akan menjadikan dirinya sehat jasmani dan ruhani, selama puasanya itu tidak berada dalam kondisi yang membahayakan dirinya maupun bayinya. Adapun jika sudah sampai pada kondisi sedemikian rupa sehingga puasa yang ia lakukan akan membahayakan dirinya, ataupun bayi maupun janinnya, wajib atasnya untuk tidak berpuasa.

Hukum mengqadha puasa Rama¬dhan adalah sama dengan hukum asalnya, hukum puasa Ramadhan, yaitu wajib. Jadi, bukan cuma wajib mem¬bayar fidyah tanpa harus-berpuasa lagi sebagai ganti puasa di bulan Ramadhan. Qadha puasa tetap saja wajib.

Adapun dari segi wajib atau tidaknya membayar fidyah, terdapat dua kondisi:

1. Jika ia tidak berpuasa karena kha¬watir bila ia berpuasa akan mem¬bahayakan dirinya saja atau dirinya sekaligus bayi maupun janinnya, ia hanya wajib mengqadha puasa sejumlah hari di bulan Ramadhan yang ia tidak berpuasa, tanpa harus membayar fidyah.

2. Jika ia tidak berpuasa karena kha¬watir akan kesehatan bayi maupun janinnya saja tanpa khawatir akan terjadi suatu hal yang akan mem¬bahayakan dirinya, misalnya kalau ia berpuasa akan berakibat air susunya jadi tidak akan keluar atau tidak ada asupan makanan yang tersalurkan kepada janinnya, selain wajib meng¬qadha puasanya itu, ia juga wajib membayar fidyah setiap harinya satu mud (6.25 ons) beras.

Wallahu a'lam


==> Habib Segaf bin Hasan Baharun


Rabu, 28 Juli 2010

Perbedaan Niat Imam dan Makmum


Fenomena yang sering menimbulkan pertanyaan di kalangan kaum muslimin Indonesia adalah manakala seorang sholat sunnah sendiri, misalnya sholat sunnah ba'diyah, atau sholat fardlu sendiri kemudian datanglah seseorang yang bermakmum kepadanya dengan menepuk pundak si mushalli pertama, sahkah sholat seperti ini? Permasalahan ini dalam kitab fikih dibahas dengan judul perbedaan niat imam dan makmum. Para ulama berbeda pendapat mengenai tata cara sholat seperti itu.

Pendapat pertama adalah madzhab Syafi'I mengatakan bahwa sah sholat jamaah dengan perbedaan niat imam dan makmum secara mutlak. Jadi meskipun imam sholat sunnah dan makmum sholat fardlu, imam sholat dhuhur dan makmum sholat ashar, imam sholat ada' dan makmum sholat qadla, semuanya sah, asalkan format sholat imam dan makmum sama. Kalau formatnya beda, maka tidak sah, seperti misalnya imam sholat gerhana dan makmum sholat isya', maka tidak diperbolehkan. Madzhab Syafi'I ini merupakan madzhab yang paling longgar.

Pendapat kedua adalah madzhab Maliki yang mengatakan tidak sah sholat imam dan makmum yang berbeda niatnya, secara mutlak. Mereka yang sholat fradlu tidak boleh bermakmum dengan imam yang sholat sunnah, begitu makmum sholat dhuhur tidak sah bila imamnya sholat selain fardlu. Ini pendapat paling ketat.
Pendapat ketiga adalah madzhab Hanafi yang mengatakan bahwa boleh orang sholat sunnah di belakang imam yang sholat fardlu tapi tidak sebaliknya. Begitu juga tidak sah sholat makmum yang berbeda dengan sholat imamnya meskipun sama-sama fardlu.
Dalil-dalil:

Dalil pendapat pertama adalah:

1. Hadist riwayat Syafi'I dari Abu Bakrah bahwa Rasulullah s.a.w. keluar untuk mendamaikan satu persengketaan di Bani Sulaim, lalu beliau membagi sahabatnya menjadi dua kelompok, kemudian beliau sholat mengimami dengan kelompok satu, kemudian sholat lagi mengimami dikelompok kedua. Diriwayatkan itu sholat maghrib.
Sangat jelas pada hadist tersebut bahwa Rasulullah mengimami kelompok kedua, padahal beliau telah sholat di kelompok pertama. Berarti sholat Rasulullah sunnah dan sholat makmum fardlu.

2. Hadist riwayat Muslim dari Jabir bin Abdullah bahwa Suatu hari Muadz sholat bersama Rasulullah s.a.w. lalu ia datang ke kaumnya lalu ia mengimami kaumnya sholat Isya' dengan membaca surat Baqarah, lalu seorang lelaki keluar dari jamaah dan menyelesaikan sendiri sholatnya. Orang-orang pun menegurnya "Apakah anda orang manafik?", iapun menjawab"Tidak, aku akan adukan masalah ini kepada Rasulullah". Sesampai kepada Rasulullah, orang itu berkata "Wahai Rasulullah, kami orang-orang bekerja siang, Muzdz telah mengimami kami sholat Isya' telah larut dan membaca surat Baqarah". Ketika Rasulullah mendengar cerita itu, ditegurnya Muad'z "Apakah angkau orang yang suka membuat fitnah? Mengapa tidak kau baca surat Sabbihis dan Wallaili Idza Yaghsyaa".

Hadist ini juga menunjukkan perbedaan sholat imam dan makmum, dimana Muadz telah sholat Isya bersama Rasulullah lalu menjadi imam di kaumnya. Bagi Muadz sholat sunnah dan bagi kaumnya sholat fardlu.
3. Hadist riwayat Ahmad dll. Suatu hari Rasulullah s.a.w. sholat bersama sahabatnya, selesai salam datanglah seorang lelaki ketinggalan lalu ia hendak sholat sendiri, lalu Rasuullah bersabda "Siapa yang mau bersedekah dengan orang ini dengan berjamaah dengannya".
Hadist ini juga menunjukkan sahnya sholat meskipun dengan perbedaan niat antara makmum dan imam.

Imam Syafi'I menyimpulkan bahwa riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa perbedaan niat sholat antara imam dan makmum tidak membatalkan sholat jamaah.
Dalil pendapat kedua dan ketiga:
1. Hadist diriwayatkan Bukhari dan Muslim dll. Rasulullah s.a.w. bersabda "Sesungguhnya dijadikan imam untuk diikuti, ketika ia takbir maka takbirlah, ketika ruku' maka ruku'lah ketika sujud sujudlah, ketika ia sholat berdiri maka berdirilah …
Hadist tersebut menegaskan bahwa makmum harus mengikuti imam, perbedaan niat makmum menunjukkan sikap tidak mengikuti imam, maka tidak sah sholatnya.
2. Hadist riwayat Ashabus Sunan dari Barra' bin Azib, Rasulullah s.a.w. bersabda "Janganlah kalian berbeda, maka berbedalah hati kalian, sesungguhnyaAllah dan MalakatNya mendoakan para mushalli di shaf pertama".

Hadist ini melarang berbeda dalam melakukan sholat, baik pada shaf maupun niat, maka perbedaan niat imam dan makmum menjadikan sholat tidak sah.
Imam Abu Hanifah nampak mencoba menggabung hadist-hadist di atas secara tekstual, bahwa hanya makmum sholat sunnah boleh mengikuti imam yang sholat fardlu seperti yang dicontohkan dalam hadist.

Bagi pengikut madzhab Syafi'I, ketika sholat sendiri kemudian merasa ada makmum yang datang mengikutinya, hendaknya ia tidak menunggu makmum tersebut, misalnya dengan memperpanjang bacaan dlsb, tapi hendaknya ia konsentrasi penuh dengan sholatnya.
Bagi yang bermakmum kepada orang yang sholat sendiri atau sholat sunnah, ada baiknya makmum menepuk pundak mushalli. Menepuk pundak mushally [orang yang salat] adalah sebuah isyarat adanya seseorang yang hendak bermakmum kepadanya. Demikian ini agar ia melakukan niat menjadi imam. Karena tanpa niat tersebut ia tidak mendapatkan pahala berjamaah. Sementara jamaah itu sendiri adalah sah, tanpa ada niat dari imam, selama makmum telah berniat jamaah. Jadi, niatnya imam hanya untuk dirinya sendiri, agar ia mendapatkan pahala berjamaah.

Untuk wanita yang ingin berjamaah dengan seseorang yang masbuk, ia boleh menepuk pundak jika dirasa tidak menimbulkan fitnah. Dan jika dirasa demikian, ia boleh memberi isyarat apapun yang dapat dipahami oleh masbuk tsb. atau jika sulit, tak perlu ia memberi isyarat. mengetahuinya imam akan adanya seseorang yang bermakmum kepadanya tidak merupakan syarat sah-nya berjamaah. Ketentuan ini tidak untuk salat Jum'at. Karena di antara syarat sahnya salat jumat adalah dilaksanakan secara berjamaah. Pada salat Jum'at ini, imam harus berniat jamaah sejak takbiratul ihram.

http://pesantrenvirtual.com/


Rabu, 14 Juli 2010

Hukum Mengamalkan Hadits Dho'if


Dewasa ini perkembangan ilmu hadits di dunia akademis mencapai fase yang cukup signifikan. Hal ini ditandai dengan banyaknya kajian-kajian ilmu hadits dari kalangan ulama dan para pakar yang hampir menyentuh terhadap seluruh cabang ilmu hadits seperti kritik matan, kritik sanad, takhrij al-hadits dan lain sebagainya. Kitab-kitab hadits klasik yang selama ini terkubur dalam bentuk manuskrip dan tersimpan rapi di rak-rak perpustakaan dunia kini sudah cukup banyak mewarnai dunia penerbitan.


Namun sayang sekali, dibalik perkembangan ilmu hadits ini, ada pula kelompok-kelompok tertentu yang berupaya menghancurkan ilmu hadits dari dalam.


Sebagaimana dimaklumi, para ulama telah bersepakat tentang posisi hadits dha'if yang boleh diamalkan dalam konteks fadhail al-a'mal (amalan-amalan sunat), targhib (motivasi melakukan kebaikan) dan tarhib (peringatan meninggalkan larangan), manaqib dan sejarah. Dalam hal ini, al-Imam al-Nawawi berkata:
"Menurut ahli hadits dan lainnya, boleh memperlonggar (tasahul) dalam menyampaikan sanad-sanad yang lemah (dha'if) dan meriwayatkan hadits dha'if yang tidak maudhu' serta mengamalkannya tanpa menjelaskan kedha'ifannya, dalam hal yang tidak berkaitan dengan sifat-sifat Allah, hukum-hukum halal dan haram, dan yang tidak berkaitan dengan akidah dan hukum-hukum." (Tadrib al-Rawi, 1/162).


Pernyataan al-Imam al-Nawawi di atas memberikan kesimpulan sebagai berikut tentang hadits dha'if. Pertama, boleh meriwayatkan dan mengamalkan hadits dha'if dalam hal-hal yang tidak berkaitan dengan sifat-sifat Allah, akidah dan hukum-hukum halal dan haram. Kedua, pendapat ini adalah pendapat seluruh ahli hadits dan selain mereka.
Menurut al-Imam Jalaluddin al-Suyuthi wilayah bolehnya mengamalkan hadits-hadits dha'if tersebut, mencakup terhadap hal-hal yang berkaitan dengan fadha'il al-a'mal, kisah-kisah para nabi dan orang-orang terdahulu, mau'izhah hasanah atau targhib dan tarhib dan yang sejenisnya. Pernyataan al-Imam al-Nawawi dan al-Suyuthi di atas berkaitan dengan bolehnya mengamalkan hadits dha'if dalam wilayah fadha'il al-a'mal dan semacamnya sebenarnya diriwayatkan dari ulama-ulama salaf antara lain al-Imam Ahmad bin Hanbal, Abdullah bin al-Mubarak, Abdurrahman bin Mahdi dan semacamnya. Mereka mengucapkan sebuah yang sangat populer, "idza rawayna fil halam wal haram syaddadna waidza rawayna fil fadhail wa nahwiha tasahalna (apabila kami meriwayatkan hadits-hadits mengenai halal dan haram, kami menyeleksinya dengan ketat, tetapi apabila kami meriwayatkan hadits-hadits mengenai fadha'il dan semacamnya, kami memperlonggar)". (Tadrib al-Rawi, 1/162).


Bahkan menurut Syaikh Abdullah Mahfuzh al-Haddad dalam kitabnya al-Sunnah wa al-Bid'ah (hal. 110), tidak ada seorang pun ulama yang melarang mengamalkan hadits dha'if, dalam wilayah fadha'il al-a'mal dan sejenisnya.


Berangkat dari kenyataan tersebut, kita temukan kitab-kitab hadits ulama terdahulu seperti karya-karya al-Bukhari (selain Shahih-nya), al-Tirmidzi, al-Nasa'i, Abu Dawud, Ibn Majah, Ahmad bin Hanbal dan lain-lain banyak mengandung hadits-hadits dha'if. Hal ini juga diikuti oleh ulama-ulama berikutnya seperti al-Thabarani, Abu Nu'aim, al-Khathib al-Baghdadi, al-Baihaqi dan lain-lain. Sehingga kemudian tidaklah aneh apabila kitab-kitab tashawuf dan adzkar yang memang masuk dalam wilayah fadha'il al-a'mal seperti Ihya' 'Ulum al-Din, karya al-Ghazali, al-Adzkar karya al-Nawawi dan semacamnya banyak mengandung hadits-hadits dha'if. Bahkan kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama panutan Wahhabi seperti Ibn Taimiyah, Ibn al-Qayyim dan Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi juga penuh dengan hadits-hadits dha'if dan terkadang pula hadits-hadits maudhu'.


Pendeknya hadits dha'if memang boleh diamalkan berdasarkan pendapat seluruh ulama salaf dan khalaf dalam konteks fadha'il al-a'mal dan sejenisnya. Sedangkan orang pertama yang menolak terhadap hadits dha'if dalam wilayah apapun termasuk dalam konteks fadha'il al-a'mal adalah Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, ulama Wahhabi dari Yordania. Al-Albani bukan hanya menolak hadits dha'if, bahkan juga beranggapan bahwa mengamalkan hadits dha'if dalam fadha'il adalah bid'ah dan tidak boleh dilakukan. Lebih dari itu, al-Albani juga memposisikan hadits dha'if sejajar dengan hadits maudhu' seperti dapat dibaca dari judul bukunya, Silsilat al-Ahadits al-Dha'ifah wa al-Maudhu'ah wa Astaruha al-Sayyi' lil-Ummah (serial hadits-hadits dha'if dan maudhu' serta dampat negatifnya bagi umat). Hadits dha'if yang sebelumnya dianjurkan diamalkan oleh para ulama salaf dan khalaf, kini al-Albani menganggapnya bid'ah dan berdampat negatif bagi umat. Secara tidak langsung, al-Albani berarti telah menghujat seluruh ahli hadits sejak generasi salaf yang meriwayatkan hadits-hadits dha'if dalam kitab-kitab mereka sebagai memberi contoh yang negatif bagi umat. Wallahu a'lam

(Muhammad Idrus Ramli)


Selasa, 13 Juli 2010

Bagaimana Membayar Hutang Shalat Kita?



Kita mengenal istilah qadha shalat yang artinya melunasi hutang shalat. Berarti yang bersangkutan pernah meninggalkan shalat, disengaja atau tidak itu lain soal. Yang jelas, hutang kewajiban shalat sama halnya dengan hutang kewajiban kepada Allah yang lain, ia harus dilunasi.

Bahwa shalat yang kita tinggalkan itu adalah disebabkan kelalaian kita. Kepada manusia saja hutang harus dibayar, kenapa hutang kepada Allah justru dipermudah? Walaupun kita tahu Allah adalah Dzat Maha Pemaaf, tapi itu masalah lain.

Dalil yang kita pakai:

اتَّفَقَ العُلَمَاءُ عَلَى أنَّ قَضَاءَ الصَّلَاةِ وَاجِبٌ عَلَى الناَّسِيّ وَ النّاَئِمِ لِمَا تَقَدَّمَ مِنْ قَوْلِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ، أنَّهُ لَيْسَ فِي النَّوْمِ تَفرِيْطٌ. وَ إنَّمَا التَّفْرِيْطُ فِيْ الْيَقْظَةِ. فَإذَا نَسِيَ أَحَدٌ صَلاَةُ أوْ نََامَ عَنْهَا فَلْيُصَلِّيْهَا إذَا ذَكَرَهَا


Para ulama sepakat bahwa melunasi hutang shalat yang ditinggalkan itu wajib hukumnya, baik karena lupa ataupun tertidur. Seperti pernah disampaikan Rasul: Tertidur itu bukan kelengahan karena yang dikatakan lengah itu bila seseorang tidak tidur. Apabila ia lupa atau tertidur dan tidak mengerjakan shalat, shalatlah ketika teringat. (Lihat dalam FIqhus Sunnah, Juz II, hlm. 185)

Kita memang dapat membayarnya lain waktu yang senggang. Akan tetapi, lebih cepat membayar, lebih baik. Misalnya, kita baru saja hutang shalat Subuh karena bangun kesiangan maka waktu yang terbaik dapat dikerjakan jam tujuh atau jam delapan pagi ketika kita bangun dari tidur, atau ketika kita sempat membayamya dan tidak perlu ditunda-tunda. Meski pada dasarnya hutang (qadha) shalat Subuh dapat dikerjakan di waktu shalat Zhuhur, Maghrib, Ashar, atau kapan saja.

Demikian juga berlaku pada shalat-shalat lain yang kita tinggalkan. Soal apakah dosa besar ketika kita meninggalkan shalat, tentu saja akan dilihat alasannya. Kalau kita beralasan tidur, tidak ada yang membangunkan, tentu Allah Mahatahu. Berbeda bila kita meninggalkan shalat karena alasan lain seperti bus yang kita tumpangi tidak berhenti, atau di kereta yang katanya tidak ada tempat, di pesawat yang katanya tidak ada air, atau sedang sakit, semua itu Allah Mahatahu.

Yang jelas, shalat bagi kaum muslimin merupakan suatu kewajiban yang harus dikerjakan pada waktunya, dalam kondisi apapun. Jika tidak bisa berdiri, duduk. Tidak bisa duduk, tiduran. Tidak bisa tiduran, isyarat mata. Tidak bisa isyarat mata, dengan hati. Begitu mudahnya syari'at Islam, namun kemudahan itu masih saja dirasa berat oleh orang yang suka bermalas-malasan.

Sekarang, bagaimana jika hutang shalat satu minggu karena sakit belum bisa membayarnya keburu meninggal, siapa yang harus membayar?

Hutang shalat tadi bisa dibayar lewat dua cara. Cara pertama, dilunasi keluarganya; dan cara kedua, bisa melunasinya dengan membayar fidyah (denda), yaitu 1 waktu shalat yang ditinggalkan sama dengan 6 ons beras atau makanan pokok lainnya. Berarti, keluarga harus membayarkan 6 ons beras x 5 x 7 dan diberikan kepada tetangga yang miskin.

وَمَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صَلاَةٌ فَلا قَضَاءَ وَ لاَ فِدْيَةَ. وَ فِيْ قَوْلٍ كَجَمْعِ الْمُجْتَهِدِيْنَ أنَّهَا تَقْضَى عَنْهَا لِخَبَرِ البُخَارِي وَ غَيْرِهِ. وَ مِنْ ثَمَّ اخْتاَرَهُ جَمْعٌ مِنْ أئِمَّتِناَ وَ فَعَلَ بِهِ السُبْكِي عَنْ بَعْضِ أَقاَرِبِهِ

ٍSiapa meninggal dunia sedang ia punya hutang shalat, baginya tak perlu diqadha. Tetapi menurut sebagian besar ulama Mujtahidin: bagi keluarganya tetap terkena kewajiban membayar karena ada hadits riwayat Imam Bukhari, dll. Rupanya pendapat terakhir ini cenderung diikuti ulama-ulama, Syafi’iyah, antara lain Imam Subki dan sebagian sahabatnya. (Lihat Ahkamul Fuqoha, Juz II, hal 50)

الصَّحِيْحُ هَوَ الإفْتاَءُ الأوَّلُ بِإخْرَاجِ الْفِدْيَةِ أرْبَعِيْنَ مُدًّا لِتَرْكِ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوْبَةِ ثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ فِيْ خَمْسِ مَكْتُوْباَتٍ

... yang benar adalah fatwa pertama yang mengatakan: harus mengeluarkan fidyah (denda) 40 mud (1 mud = 6 ons) bagi yang telah meninggalkan shalat selama 8 hari, yang seharusnya dia mengerjakan shalat 5 kali sehari. (Lihat dalam I’anatut Thalibin, Juz II, hal 229)


KH Munawir Abdul Fattah
Pengasuh Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta


Senin, 12 Juli 2010

Hukum Memajang Foto


Dijelaskan dalam beberapa hadits shahih bahwa malaikat rahmat tidak menginjak rumah / ruangan yg ada lukisan makhluk yg bernyawa padanya, ini maksudnya bahwa di zaman Nabi saw orang orang kafir melukis nabi nabi mereka dan sesembahan mereka untuk kemudian disembah. maka tentunya para malaikat tak akan masuk ruangan yg ada lukisan berhalanya, maksudnya bahwa Rahmat Nya swt akan terjauhkan dari rumah para penyembahan berhala.

Lalu muncullah fatwa dari Syeikh Bin Baz bahwa bahwa melukis / mengagungkan / menggantung gambar makhluk bernyawa adalah dosa besar. Melukis gambar–gambar makhluk bernyawa, mengagungkan atau menggantungkannya di dinding atau ditempat-tempat pertemuan dan sebagainya. Sehingga Muncul pula anggapan bathil dari kaum wahabi salafy yang menganggap orang-orang yang memajang foto/gambar para sholihin di rumahnya dianggap musyrik sebab dikira menyembahnya ataupun mengkultuskannya.


"FOTO" jelas berbeda dgn LUKISAN, hadits yg melarang gambar, yg dimaksud adalah lukisan makhluk yg bernyawa. foto itu tak dilarang dalam syariah tuk memajangnya, karena adanya pelarangan adalah pada lukisan, bukan foto, karena foto itu bukan perbuatan tangan manusia yg membentuk gambar tubuh dan wajah, tapi foto adalah merekam bayangan dg alat dan menampilkannya kembali, hal itu jauh dari makna melukis, maka hukumnya mubah saja.

Foto adalah bukan lukisan tangan manusia, karena foto merupakan bayangan yg ditangkap dan di film kan, bukan lukisan tangan manusia, maka hukum foto boleh boleh saja walaupun foto hewan, foto manusia dll.

namun yg menjadi pelarangan tentunya bila foto itu adalah foto wanita yg tak menutup auratnya, misalnya rambutnya terlihat, atau lehernya, atau lainnya, dan diruang tamu adalah orang umum yg keluar masuk padanya, hal seperti ini membuka masalah pelarangan dalam memajangnya.


Foto tidsk dilarang, karena foto adalah menangkap bayangan dari cahaya yg dipantulkan, itu terlepas dari hukum dilarangnya melukis makhluk yg bernyawa.


namun ada juga pendapat para fuqaha yg mengatakan bila ada lukisan makhluk yg bernyawa malaikat tak akan masuk ke ruangan itu, tentu sebabnya tidak lain karena hadits Nabi saw yg melarang lukisan.

Lukisan yg dilarang bukanlah semua lukisan, tapi para ulama mengklasifikasikan bahwa yg dilarang adalah lukisan makhluk yg bernyawa yg dengan tubuh sempurna, bukan setengah badan, bukan hanya kepala misalnya.

namun ada pula pendapat ulama dan fuqaha kini yg berpendapat bahwa lukisan yg dilarang adalah lukisan berhala, atau apa apa yg disembah selain Allah, misalnya lukisan Bunda Maria, Yesus, Dewa Syiwa dll yg disembah oleh manusia,

selain daripada lukisan lukisan itu maka MAKRUH hukumnya dan tidak HARAM, demikian sebagian ulama berpendapat, namun sebagian besar mengharamkannya kecuali bila lukisan makhluk bernyawa itu tidak sempurna.

mengenai foto foto orang shalih maka tak ada ikhtilaf dalam hal ini, karena foto adalah menangkap bayangan dari pantulan cahaya, dan bayangan orang shalih mempunyai kekhususan tersendiri, sebagaimana hadits Rasul saw yg mengatakan : "SUNGGUH SYAITAN ITU MENYINGKIR BILA MELIHAT BAYANGAN UMAR" . menunjukkan bahwa bayangan orang orang shalihin mempunyai keweibawaan disisi makhluk Alah swt, maka demikian istinbath atas foto foto orang shalih, karena foto adalah merekam bayangan.

Sabda Rasul saw “MAUKAH KALIAN KUBERITAHU ORANG-ORANG MULIA DIANTARA KALIAN..?, MEREKA YG KETIKA DILIHAT WAJAHNYA MAKA MEMBUAT MEREKA INGAT PADA ALLAH (Adabul Mufrad oleh Imam Bukhari),

Maka jelas sudah bahwa larangan adalah penyembahan, bukan memuliakan hamba yang dimuliakan Allah swt, sebagaimana Allah swt
memerintahkan Iblis untuk memuliakan Adam as, hambaNya yang shalih, namun Iblis menolak, inilah satu satunya kesalahan Iblis, ia hanya mau memuliakan Allah, tanpa mau memuliakan makhluk yang dimuliakan Allah

Mengenai lukisan orang shalih ada dua tafsil dalam pembenarannya, yg pertama bahwa pendapat Mu’tamad bahwa yg diharamkan adalah lukisan yg menggambar seluruh tubuh, maka tidak menjadi larangan bila lukisan itu hanya wajah atau setengah badan.

Yg kedua adalah bahwa larangan lukisan sebagaimana diriwayatkan pula pada shahihain Bukhari dan muslim mengenai hadits yg anda sebut, bahwa perihal pelarangan adalah karena di zaman jahiliyah mereka melukis tuhan tuhan berhala mereka, dan para nabi untuk disembah, maka yg dilarang adalah melukis sesuatu yg disejajarkan dengan Allah swt, demikian pula melukis makhluk hidup yg mempunyai ruh karena mengingatkan kepada keduniawian, para ulama juga menjelaskan bahwa lukisan yg dilarang adalah melukis seluruh tubuh sempurna, bila hanya wajah, atau setengah badan maka itu tidak termasuk hukum melukis Dzi Ruh (tubuh yg memiliki ruh)

Wallahua’lam


Kenapa Harus Madzhab Empat ?



Ketika Rasulullah masih hidup, umat manusia menerima ajaran langsung dari beliau atau dari sahabat yang hadir ketika beliau menyampaikan. Setelah Rasulullah wafat, para sahabat – termasuk keempat khulafaurrasyidin ; Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali – menyebar luaskan ajaran Islam kegenerasi berikutnya. Dengan perkembangan zaman, dengan kondisi masyarakat yang kian dinamis, banyak persoalan baru yang dihadapi umat. Seringkali hal yang muncul itu tidak didapati jawabannya dengan tegas didalam al-Qur’an dan al-Hadits. Maka, untuk mengetahui hokum atau ketentuan persoalan baru itu, upaya ijtihad harus dilakukan.

Sesungguhnya ijtihad juga telah dilakukan oleh sahabat ketika Rasulullah masih hidup. Yakni ketika sahabat menghadapi persoalan baru tapi tidak mungkin dapat ditanyaka langsung kepada Rasulullah. Seperti pernah dilakukan oleh sahabat Muadz bin Jabal, saat diberikan tugas mengajarkan Islam di Yaman. Dan pada masa-masa sesudah kurun sahabat, kegiatan ijtihad makin banyak dilakukan oleh pada ulama ahli Ijtihad (Mujtahid).

Diantara tokoh yang mampu berijtihad sejak generasi sahabat, tabi’in dan tabi’ut-tabi’in, terdapat tokoh yang ijtihadnya kuat (disebut Mujtahid Mustaqil). Bukan hanya mampu berijtihad sendiri namun juga menciptakan “pola pemahaman (manhaj)” tersendiri terhadap sumber pokok hokum Islam ; Al-Qur’an dan Al-Hadits. Ini dicerminkan dengan metode ijtihad yang dirumuskan sendiri, menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh, qawaidul ahkam, qawaidul fiqhiyyah, dan lain sebagainya. Proses dan prosedur ijtihad yang mereka hasilkan menandakan bahwa secara keilmuan dan pemahaman keagamaan serta ilmu-ilmu penunjung yang lainnya telah mereka miliki dan kuasai.

Pola pemahaman ajaran Islam melalui ijtihad para Mujtahid, lazim disebut Madzhab. Dalam bahasa Indonesia berarti, “jalan pikiran dan jalan pemahaman”, atau “pola pemahama”. Pola pemahaman dengan metode, prosedur dan produk ijtihad itu juga diikuti oleh umat Islam yang tidak mampu ijtihad sendiri karena keterbatasan ilmu dan syarat-syarat yang dimiliki. Mereka lazim disebut bermadzhab atau menggunakan madzhab.

Dengan system bermadzhab ini, ajaran Islam dapat terus berkembang, disebar luaskan dan di amalkan dengan mudah kepada seluruh lapisan dan tingkatan umat Islam. Dari yang paling awam hingga ke yang alim sekalipun. Melalui system ini pula pewarisan dan pengamalan ajaran Islam terpelihara kelurusan dan terjamin kemurniaannya. Itu karena ajaran yang terkandung dalam al-Qur’an dan al-Hadits dipahami, ditafsiri dan diamalkan dengan pola pemahaman dan metode ijtihad yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.

Walaupun demikian, kualitas madzhab yang sudah ada harus ditingkatkan yaitu dengan peningkatan kemampuan dan penguasaan ilmu agama Islam dengan segala jenis dan cabang-cabangnya.

Ajakan kembali kepada al-Qur’an dan hadits tentu tidak boleh diartikan memahami kedua sumber hokum tersebut secara bebas (liberal), tanpa metode dan prosedur serta syarat-syarat yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.

Diantara madzhab fiqh yang paling berpengaruh yang pernah ada sebanyak empat. Mereka menjadi panutan warga Nahdliyin, masing-masing adalah ;
1. Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit. Biasa disebut Imam Hanafi.
2. Imam Malik bin Anas, biasa disebut Imam Maliki
3.Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i. Biasa disebut Imam Syafi’i
4.Imam Ahmad bin Hanbal, biasa disebut Imam Hanbali

Alasan memilih keempat madzhab saja, pertama ; kualitas pribadi dan keilmuan mereka sudah masyhur. Jika disebut nama mereka hampir seluruh umat Islam didunia mengenal dan tidak perlu lagi menjelaskan secara detail.

Kedua, keempat Imam madzhab tersebut merupakan Imam Mujtahid Mutlak Mustaqil yaitu Imam Mujtahid yang mampu secara mandiri menciptakan Madzhab al-Fikr, pola, metode, proses dan prosedur istinbath dega segala perangkat yang dibutuhkan. Imam Ghazali belum mencapai derajat seperti Imam Madzhab tersebut. Beliau masih mengikut madzhab Imam Syafi’i.

Ketiga, para Imam tersebut memiliki murid yang secara konsisten mengajar dan mengembangkan madzhabnya yang didukung buku induk yang masih terjamin keasliannya hingga saat ini.

Keempat, ternyata Imam Madzhab tersebut memiliki mata rantai dan jaringan intelektual diantara mereka.

Imam Abu Hanifah pada saat menunaikan ibadah haji sempat bertemu dengan Imam Malik di Madinah. Ha ini merupakan pertemuan dua tokoh besar dari dua aliran yang berbeda. Imam Abu Hanifah sebagai tokoh aliran Ahlur ra’yi, sedangkan Imam Malik merupakan tokoh aliran Ahli Hadits. Kedua tokoh ini sempat melakukan dialog ilmiah di Madinah, yang berakhir dengan sikap saling memuji dan mengakui kepakaran masing-masing dihadapan pengikutnya.

Peristiwa itu kemudian mendorong murid senior Imam Abu Hanifah yaitu Imam Muhammad Hasan, belajar kepada Imam Malik selama dua tahun.

Imam Syafi’i cukup lama menjadi murid Imam Malik dan selama sembilan tahun mengikuti madzhab Maliki, tertarik mempelajari madzab Hanafi. Ia berguru kepada Imam Muhammad bin Hasan, yang waktu ia menggantikan Imam Abu Hanifah setelah wafat.

Ternyata Imam Muhammad bin Hasan ini sudah pernah bertemu akrab dengan Imam Syafi’i sewaktu sama-sama belajar kepada Imam Malik di Madinah. Diantara keduanya saling tertarik dan mengagumi. Itu terbukti, sewaktu Imam Syafi’i ditangkap oleh pemerintahan Abbasiyah karena difitnah terlibat gerakan ‘Alawiyah di Yaman, yang membela dan memberikan jaminan adalah Imam Muhammad bin Hasan.

Dan yang terakhir ; selama Imam Syafi’i berada di Baghdad yang kedua, Imam Ahmad bin Hanbal cukup lama belajar kepada Imam Syafi’i. Kalau diperhatikan ternyata keempat madzhab tersebut memiliki sikap tawadhu’ dan saling menghormati. Kebesaran dan popularitas masing-masing tak mempengaruhi sikap dan prilaku ahlakul karimahnya. Ini merupakan citra terpuji dari para pemegang amanah keilmuan yang luar biasa. Hal demikian patut di teladani oleh para pengikut madzhab selanjutnya.

Penolakan terhadap bermadzhab berarti melepaskan diri sama sekali dari ajaran agama sehingga pelakunya patut disebut “alaaddiniyah”. DR. M. Said al-Buthi didalam kitabnya “Allamadzhabiyyah” menyatakan, “manakala semua manusia tahu persis cara mengikut Sunnah Nabi dan memahami secara benar maksud al-Qur’an, niscaya manusia tidak akan terbagi menjadi dua kelompok yaitu Mujtahidin dan Muqallidin dan niscaya Allah tidak akan memerintahkan kelompok kedua untuk bertanya kepada kelompok pertama, sebagaimana dalam firman-Nya, “Maka bertanyalah kepada orang yang memiliki pengetahun jika kamu tidak mengetahui”. Dalam ayat ini, kelompok kedua diperintah bertanya kepada kelompok pertama tidak ma’sum (terjaga dari kesalahan) dan Allah tidak langsung memerintahkan merujuk kepada nas-nas Al-Qur’an dan As-Sunnah yang keduanya telah terjaga. Begitu juga Asy-Syaikh Akbar KH. Hasyim Asy’ariy dalam kitabnya “Risalah Ahlussunnah wal Jamaah, halaman 16.”

(Aswaja An-Nahdiyah)


Pernyataan Para Ulama ttg Tidak bolehnya mengikuti Rukhsah Ulama dan berfatwa dgn yg paling ringan


Para ulama pakar telah sepakat bahwa memberikan fatwa secara sembarangan (seenaknya sendiri) apalagi jika hal itu menyimpang dari ajaran yang benar adalah perbuatan haram. Atas dasar itulah, setiap mujtahid (orang yang benar-benar mencari kesimpulan hukum) wajib mengikuti dalil, sedangkan orang yang akan bertaklid (mengikuti) pendapat ulama wajib mengikuti pendapat yang shohih dan kuat dalam madzhab imam (mujtahid) nya.

Pendapat sebagian ulama yang berkaitan dengan masalah diatas ini :

1. Al-Hafidh Ibn Abd.Al-Barr dalam Jami’ Bayan Al-‘Ilm Wa Fadhlih II :112, telah meriwayatkan perkataan Sulaim At-Taimy ; “Jika kamu mengambil rukhsah atau keringanan setiap orang ‘alim, maka terkumpullah padamu segala kejahatan (dosa)”. Kemudian lanjutnya : “Ini kesepakatan atau ijma’, dan (saya) tidak mengetahui ada orang yang menentangnya”.

2. Imam Nawawi dalam kitab Syarh Al-Muhadzdzab nya mengatakan : “Jika seseorang dibolehkan mengikuti madzhab apa saja yang dikehendakinya, maka akibatnya dia akan terus-terusan mengutip (mengambil) semua rukhsah (keringanan) yang ada pada setiap madzhab demi memenuhi kehendak hawa nafsunya. Dia akan memilih-milih antara yang mengharam- kan (sesuatu masalah) dan yang menghalalkannya, atau antara yang wajib dan yang jawaz (boleh atau sunnah). Hal demikian akan mengakibatkan terlepasnya (dia) dari ikatan taklif (beban)”.

Senada dengan pendapat Imam Nawawi ini disampaikan juga oleh Al-Hafidz Ibn Al-Shalah dalam kitabnya Adab Al-Mufty wa Al-Mustafty I :46.

3. ‘Allamah Al-Syathiby dalam Al-Muwafaqat-nya mengatakan : “...maka sesungguhnya perbuatan itu mengakibatkan (kebiasaan) mencari-cari keringanan atau rukhsah dari para ulama madzhab tanpa bersandar pada dalil syara’. Menurut Ibn Hazm, para ulama sepakat bahwa kebiasaan itu merupakan kefasikan (kedurhakaan) yang tidak halal (untuk dilakukan). Maksud Al-Syatiby kata-kata tanpa bersandar pada dalil syara’ ialah tanpa dalil syara’ yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan atau dalil yang muktabar. Jika tidak begitu maksudnya, maka ada orang yang meninggalkan sholat wajib dengan berdalil pada firman Allah swt. Al-Ma’un : 5 ; ‘Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang sholat’.

4. Al-Hafidh Al-Dzhaby dalam Sayr A’lam Al-Nubala’ mengatakan : “Siapa yang mencari-cari keringanan (ulama) berbagai madzhab dan (mencari-cari) kekeliruan para mujtahid, maka tipislah agamanya”. Hal seperti ini juga dikatakan oleh Al-Awza’iy dan yang lainnya: “Siapa yang mengambil pendapat orang-orang Mekkah dalam hal nikah mut’ah, orang-orang Kufah dalam hal nabidz (anggur), orang-orang Medinah dalam hal ghina (lagu-laguan) dan orang-orang Syam dalam hal ‘Ishmah (keterpeliharaan dari dosa) para khalifah, maka sungguh dia telah mengumpulkan kejahatan (pada dirinya)”.

Demikianlah pula orang-orang yang mengambil pendapat ulama yang mencari-cari siasat untuk menghalalkan jual-beli yang berbau riba atau yang mempunyai keleluasaan dalam masalah thalaq serta nikah tahlil dan lain sebagainya. Orang-orang seperti itu sesungguhnya telah mencari-cari alasan untuk melepaskan diri dari ikatan taklif (beban).

5. Imam Al-Hafidh Taqiyyduddin Al-Subky dalam Al-Fatawa nya I : 147 menjelaskan tentang orang-orang yang suka mencari-cari keringanan dari berbagai madzhab. Dia mengatakan: “Mereka menikmati (dirinya), karena dalam kondisi seperti itu mereka mengikuti hawa nafsunya dan bukan mengikuti agamanya”. Termasuk dalam kategori ini adalah orang yang suka memilih pendapat yang paling cocok buat dirinya dan mengikuti dari satu madzhab yang sesuai dengan pilihannya.
Sebagian orang pada zaman sekarang membolehkan seseorang mencari-cari keringanan dan mengambil ajaran yang paling mudah dengan berdalilkan pada hadits dari Siti ‘Aisyah ra yang menyatakan: “Setiap kali Rasulallah saw. dihadapkan kepada dua pilihan, beliau selalu mengambil yang paling mudah diantara keduanya”.

Pengambilan dalil seperti ini adalah tidak tepat sekali. Al-Hafidh Ibn Hajar Al-‘Asqalany dalam Al-Fath Al-Bari VI : 575 dalam syarh-nya mengatakan : Dua perkara (dua pilihan pada hadits tersebut) yang berhubungan dengan urusan duniawi. Hal itu di-isyaratkan oleh kata-kata selanjutnya (dalam hadits ‘Aisyah): ‘Jika bukan perbuatan yang (mengandung) dosa’. Jika yang dimaksud (dua pilihan) adalah urusan agama, maka tidak ada dosanya.

(Syeikh Hasan bin Ali As-Saqaf dalam Kitab Shahih Shifat Shalat An-Nabiy Min At-Takbir Ila At-Taslim Ka'annaka Tanzhur Ilaiha)


VIDEO

SUBSCRIBE

BELUM ADA

POPULAR POSTS

ENTER-TAB3-CONTENT-HERE
 

Permasalah Hukum Islam Copyright © 2010 LKart Theme is Designed by Iwan Hafidz Zaini